Agustus lagi! Ini bulan
Agustus ke dua yang aku lalui di tanah Flores. Ya! Bulan ketika aku
menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Manggarai, sekaligus bulan ketika
aku harus meninggalkannya. Bulan ketika aku memulai pengabdianku, sekaligus bulan
ketika aku harus mengakhirinya. Bulan dimana aku bertemu dengan keluarga baru,
sekaligus bulan dimana aku harus berpisah dengan mereka. Ah..sudah satu tahun
rupanya! Rumput telah mengering, bukit-bukit kembali gersang, pohon kemiri
telah berbuah, kopi dan cengkeh siap dipanen. Pemandangan ini sama seperti yang
aku lihat satu tahun lalu. Hawa dingin yang aku rasakan pun sama seperti saat
pertama kali aku datang. Satu tahun pengabdian akan selesai. Satu tahun
kebersamaan akan berakhir. Satu tahun tahap kehidupan akan menjadi kenangan.
Apakah aku sudah berbuat baik? Apakah aku sudah bermanfaat?
Aku sangat bersyukur,
aku beruntung bisa merasakan hidup di tengah masyarakat Manggarai. Masyarakat
yang begitu ramah, dengan adat budaya yang menawan, dan dilengkapi pemandangan
alam yang begitu indah. Barangkali tempatku mengabdi adalah surganya Indonesia!
Ya, aku merasakan surga budaya Indonesia. Aku merasakan surga alam Indonesia.
Namun, aku tidak merasakan surga pendidikan disini. Sayang sekali.
Aku mengabdi di sebuah
SMA. SMA negeri memang! Jangan dibayangkan ini seperti SMA di Jawa, jangan
dibayangkan ini seperti SMA dalam sinetron. SMA dengan bangunan cantik di pusat
kota, dengan akses jalan yang mudah, dengan fasilitas yang lengkap, dengan alat
laboratorium canggih, dengan perpustakaan yang mengoleksi berbagai macam buku,
dengan ini, dengan itu, dengan bla bla bla! Bukan, bukan yang seperti itu. Sekolah
tempat aku mengabdi kebalikan dari itu semua. Kami bersekolah dengan segala
keterbatasan. Kami belajar di dalam gedung yang sangat sederhana, atau mungkin
tidak pantas disebut gedung. Hanya sebuah bangunan yang sangat sederhana. Memang
sekolah ini sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, tapi belum memiliki gedung
sekolah. Kami belajar di sebuah bangunan bekas Sekolah Dasar. Kami masih
menumpang di sana. Di sebuah bangunan beralas semen, berdinding kayu, beratap
seng, tanpa daun pintu dan daun jendela, sehingga angin leluasa masuk dan
keluar sesukanya. Bangunan yang dilengkapi dengan bangku kayu yang jika
diduduki bergoyang kesana kemari -seringkali kegiatan belajar terganggu karena
banyaknya bangku yang rusak sehingga anak-anak harus kerja memperbaikinya, dan
sebuah papan hitam yang jika ditulisi menghasilkan debu-debu halus berwarna
putih. Bangunan yang di depannya berkibar bendera merah putih lusuh dengan
bambu sebagai tiangnya. Bangunan yang dibelakangnya kebun sebagai tempat sapi
mencari makan. Bangunan tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa ruang
UKS, tanpa ruang BK, tanpa kantin, dan tanpa toilet yang layak. Bangunan di
perbukitan yang harus ditempuh anak-anak dengan berjalan kaki melewati sungai
dan bebatuan -terkadang mereka harus berjalan sambil membawa jerigen berisi air
untuk disimpan di toilet karena di sana tidak ada air. Bangunan itulah yang
menjadi tempat kami belajar. Bangunan itulah yang menjadi saksi pengabdianku. Bangunan
itulah yang melihat semangat anak-anak menimba ilmu.
Anak-anak didikku,
mungkin sama dengan anak-anak SMA pada umumnya. Anak-anak muda yang penuh impian,
ceria dan semangat. Yaa… walaupun ada beberapa anak yang nakal, malas, dan
sering bolos sekolah karena mete
-begadang dalam bahasa Manggarai- di
pesta -masyarakat Manggarai memang suka sekali mengadakan pesta, entah itu
pesta sekolah, pesta sambut baru, pesta nikah, dan pesta-pesta yang lain.
Anak-anak didikku bersekolah dengan seadanya. Mulai dari baju seadanya -beberapa
anak memakai seragam sekolah bekas seragam kerabatnya yang bertuliskan nama
sekolah lain. Sepatu seadanya -sepatu mereka berwarna-warni, sepatu paling tren
adalah sepatu kombinasi warna hijau, merah, kuning yang mereka sebut rasta, ada
juga beberapa dari mereka yang memakai sandal jepit ke sekolah dengan alasan
tidak ada sepatu di rumah. Buku seadanya -buku mereka adalah buku yang dibeli
di pasar Kamis, berupa buku tulis tipis dengan kertas agak buram bergambar
artis yang sedang naik daun. Mereka bersekolah dengan seadanya, tapi yang aku
tahu, mereka memiliki impian yang besar, mereka memiliki cita-cita yang tinggi,
mereka memiliki semangat untuk maju. Dan sebagian besar dari mereka memiliki
keinginan untuk melanjutkan kuliah. “Ibu nanti setelah lulus, saya akan pergi
ke Jawa untuk kuliah, nanti kita bertemu di Jawa ya Ibu”, begitu perkataan
salah seorang anak didikku suatu hari. Aku terharu mendengarnya, “Ya semoga
impianmu tercapai, berusaha dari sekarang ya, Nak”.
Satu tahun pengabdian ku akan berakhir. Dalam hitungan hari aku akan meninggalkan bangunan sekolah itu. Aku akan meninggalkan anak-anak didik ku. Aku akan pulang ke tanah Jawa. Tidak akan ada lagi perjalanan berbatu menuju sekolah. Tidak akan ada lagi belajar beralaskan semen. Tidak akan ada lagi suara ranting yang berjatuhan di atap seng. Tidak akan ada lagi belajar di bangunan tanpa daun pintu dan jendela. Tidak akan ada lagi belajar di bangku reot. Tidak akan ada lagi belajar ditemani sapi yang mencari makan. Tidak akan ada lagi tiang bendera dari bambu. Tidak akan ada lagi anak-anak bolos sekolah karena mete di pesta. Tidak akan ada lagi anak-anak ke sekolah membawa jerigen berisi air. Tidak akan ada lagi buku tulis tipis agak buram bergambar artis. Barangkali semua itu tidak akan aku temui di tanah Jawa.
Satu tahun pengabdian ku akan berakhir. Dalam hitungan hari aku akan meninggalkan bangunan sekolah itu. Aku akan meninggalkan anak-anak didik ku. Aku akan pulang ke tanah Jawa. Tidak akan ada lagi perjalanan berbatu menuju sekolah. Tidak akan ada lagi belajar beralaskan semen. Tidak akan ada lagi suara ranting yang berjatuhan di atap seng. Tidak akan ada lagi belajar di bangunan tanpa daun pintu dan jendela. Tidak akan ada lagi belajar di bangku reot. Tidak akan ada lagi belajar ditemani sapi yang mencari makan. Tidak akan ada lagi tiang bendera dari bambu. Tidak akan ada lagi anak-anak bolos sekolah karena mete di pesta. Tidak akan ada lagi anak-anak ke sekolah membawa jerigen berisi air. Tidak akan ada lagi buku tulis tipis agak buram bergambar artis. Barangkali semua itu tidak akan aku temui di tanah Jawa.
Pengalaman, kenangan
dan cerita indah ini akan aku bungkus rapi dan akan aku bawa pulang. Serta akan
ku tinggalkan sepucuk surat untuk anak-anak didikku.
Selamat
tinggal anak-anakku, jangan bersedih, jangan menangis.
Gapailah
impianmu, gapailah cita-citamu.
Jangan
pernah lelah, jangan pernah menyerah.
Tetaplah
semangat belajar, tetaplah semangat menimba ilmu.
Ingatlah,
masa depan Manggarai ini ada di tangan kalian.
Ingatlah,
masa depan bangsa ini ada di pundak kalian.
Semoga Tuhan memperkenankan kita untuk berjumpa kembali pada keadaan yang jauh lebih baik.
Semoga Tuhan memperkenankan kita untuk berjumpa kembali pada keadaan yang jauh lebih baik.
1 komentar:
wehehheheheee ibu guru ng blog juga to??
Posting Komentar